Dwi Koendoro

Nama Dwi Koen lekat dengan nama tokoh ciptaannya, Panji Koming. Tokoh
kartun di edisi minggu harian Kompas itu digambarkan sebagai tokoh
yang lugu, polos, tapi cerdik dan sarat dengan kritik sosial yang
mengena. Dan ternyata, nama Panji Koming juga menggema di mancanegara
setelah dinobatkan sebagai tokoh kartun wilayah Asean. Melalui Panji
Koming itu, nama Dwi Koen atau Pak DeKa—demikian ia biasa disapa—pun
turut terlambung sebagai kartunis yang malang melintang sejak 1979.

Bernama lengkap Dwi Koendoro Brotoatmodjo, ia berasal dari "keluarga
teknik". Ayahnya, R. Soemantri Brotoatmodjo yang insinyur teknik,
pada awalnya menginginkan anak kedua dari enam bersaudara ini menjadi
insinyur pula. Namun, setelah mengetahui bakat si anak, Soemantri
membebaskannya menentukan sendiri bidang pendidikan yang
diinginkannya. Ternyata, sejak duduk di bangku sekolah dasar, Dwi
Koen telah menemukan bakatnya: menggambar. Mungkin bakat itu mengalir
dari ibunya, seorang perias pengantin. Paman dari pihak ibu juga
tukang gambar.

Bakatnya mulai terasah ketika pelukis Herman, seorang tetangganya di
Bandung, mengajaknya bergabung di sanggar Cipta Panca Angkasa. "Saya
anggota termuda di sanggar tersebut," katanya. Sementara di sekolah,
guru gambarnya, Abibi, meletakkan dasar-dasar teknik gambar pada
dirinya. Pindah ke Surabaya mengikuti keluarganya, Dwi Koen sempat
menjadi pembina tetap siaran anak-anak dan remaja di RRI Surabaya.

Untuk memenuhi tekadnya menjadi pelukis, ia hijrah ke Yogyakarta dan
masuk Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Awalnya ia mengambil
jurusan seni lukis, tapi kemudian beralih ke jurusan ilustrasi
grafik. "Di jurusan seni lukis yang dipelajari adalah seni murni. Itu
bukan minat saya," tutur Dwi Koen, yang tujuh tahun belajar di ASRI,
1958-1965.

Sambil kuliah, ia menjadi ilustrator di majalah Waspada, Minggu Pagi,
dan Kedaulatan Rakyat. Kembali ke Surabaya seusai kuliah, Dwi Koen
bekerja di Televisi Eksperimentil Badan Pembina Pertelevisian
Surabaya, menjabati direktur produksi. "Di tempat inilah saya merasa
dibesarkan, banyak belajar tentang ilustrasi grafik," katanya.

Tak cukup di Surabaya, pada 1972 ia mengadu peruntungan di Jakarta,
dengan bekerja sebagai ilustrator dan kartunis di penerbit PP
Analisa, kemudian di majalah Stop dan Senang. Empat tahun kemudian,
barulah Dwi Koen menjadi karyawan tetap di PT Gramedia, ditugaskan
bagian tata artistik dan ilustrator. Sejak itu, paparnya, "Karir saya
menanjak. Saya sering diserahi tugas menggarap skenario untuk
storyboard visualizer, terkadang menjadi sutradara dan editor untuk
iklan dan film dokumenter."

Atas saran seniornya, kartunis G.M. Sidharta, Dwi Koen membuat komik
kartun yang bermuatan kritik: Panji Koming, yang dimuat di Kompas
edisi minggu sejak 14 Oktober 1979 hingga sekarang. Selain
singkatan `Kompas Minggu', Koming juga berarti bingung atau gila.

Ketika hendak membuat Panji Koming, Dwi Koen mengadakan riset lebih
dulu. "Risetnya tidak terlalu khusus. Saya hanya berusaha
menyambungkan ceritanya," katanya. Adapun idenya berasal dari
berbagai isu dan peristiwa yang berkembang dalam masyarakat. Walau
seting ceritanya zaman Majapahit, ia menganalogikan masa tersebut
dengan kondisi Indonesia masa kini, terutama masa Orde Baru dan
sesudahnya. "Saya mau menyindir perilaku yang tidak manusiawi dengan
bahasa yang tidak terlalu vulgar, dengan canda," ujarnya. Kadang
gambar yang terlalu berani tidak naik cetak. Tapi, sejak 1999, ketika
Soeharto sudah terjungkal dari tahtanya, Dwi Koen lebih berani.

"Komik mempunyai the magic of picture and spoken words," katanya,
mengapa ia menekuni komik. "Komik mempunyai daya magis dan persoalan
sendiri yang khas dibanding dengan karya lain. Gambar komik harus
detail, harus mampu menampilkan ekspresi fisik maupun psikis dari
tokohnya," ujarnya lagi.

Selain itu, Dwi Koen juga diserahi tanggung jawab sebagai Kepala
Bagian Produksi PT Gramedia Film, kemudian Kepala Bagian Audio Visual
PT Gramedia Film bidang dokumenter, film iklan, animasi, dan grafis
serta program slide dan studio rekaman.

Ide-idenya sempat mengalami kemandekan ketika bagian audiovisual
ditutup. Untunglah Jakob Oetama selaku pemimpin umum harian Kompas
memintanya menjadi staf redaksi surat kabar tersebut. Ia pun
mengundurkan diri dari PT Gramedia dan memfokuskan diri pada
penyuntingan naskah berita dan pembuatan skrip Panji Koming.

Dalam bidang animasi, Dwi Koen pernah menerima penghargaan
International Animation Festival Hiroshima 1994. Ia juga merasa
dihargai ketika Panji Koming dibuatkan seri prangko, dan sewaktu
sejumlah mahasiswa membuat skripsi tentang tokoh kartunnya itu. Namun
di luar penghargaan ini, Dwi Koen merasakan profesi kartunis masih
dipandang sebelah mata. "Penghargaan terhadap kartunis masih lebih
rendah dibanding pemusik," katanya. Di luar kartun, ia banyak
memperoleh penghargaan lain.

Walau yang disindir sering pejabat, ia pernah dapat komplain dari
masyarakat. Saat terjadi kelangkaan air bersih, dalam tajuk rencana
di majalah Humor, ia justru membela Perusahaan Daerah Air Minum dan
menyalahkan masyarakat. Santai saja ia menanggapi protes itu: "Kenapa
marah? Kan salah sendiri, wong Perusahaan Daerah Air Minum hanya
menyediakan air untuk minum kok, kenapa malah digunakan untuk mandi,
cuci mobil, dan lain-lain?"

Sebagai orang media massa, Dwi Koen terbiasa melihat satu hari atau
satu minggu ke depan. Itulah yang dilakukannya ketika ia membuat
kartun Megawati menjelang terpilihnya ia menjadi wakil
presiden. "Saya sudah membuat kartun tersebut sehari sebelum Megawati
benar-benar (dipastikan) menjadi wapres," tuturnya. Begitu Megawati
naik, "Kartun saya langsung naik cetak sorenya."

Menikah dengan Dewasih pada 1969, pasangan ini dikaruniai tiga anak.
Kebetulan keduanya sama-sama pekerja seni. Dewasih sendiri lulusan
Desain Komunikasi Visual ITB. "Saya mengejar dan menyatakan cinta
padanya sejak 1959," tuturnya, yang baru mendapat jawaban "ya" lima
tahun kemudian.

Dwi Koen membebaskan ketiga anaknya memilih sendiri pendidikan, dan
tidak mengarahkan anak-anaknya ke suatu bidang. Tapi, mungkin karena
terlalu sering berinteraksi dengan ayahnya, mereka menjadi suka pada
gambar. "Karena mereka suka, ya saya dukung," ujarnya. Sekarang
ketiga anaknya bekerja di media, ikut dalam dunia ilustrasi dan
gambar, bahkan ada yang menjadi kepala bagian artistik di salah satu
media elektronik.

Dwi Koen telah menggambar puluhan sampul buku. Saat ini ia sedang
mencoba membuat animasi dan telekomik Indonesia, dengan bantuan
komputer agar hasilnya lebih maksimal. Tapi, katanya, "Saya tetap
lebih senang menggambar dengan pensil."

Di waktu luang, Pak DeKa memmanfaatkannya untuk tidur. Ia hobi
bermain piano dan mendengarkan musik. "Saya biasa mendengarkan musik
ketika saya suntuk atau dalam upaya mencari ide," kata pengagum tokoh
kepanduan Lord Baden-Powell ini.

sumber:dwikoen

0 Comments:

About This Blog

Lorem Ipsum

Footer


  © Blogger templates Inspiration by Monkey Dollars Blog 2008

Back to TOP