Jaya Suprana, orang Tionghoa yang besar dalam budaya Jawa. Pria
bertubuh tambun dan berkacamata tebal yang lahir di Bali, Denpasar,
27 Januari 1949 ini akrab di hadapan publik lewat acara televisi Jaya
Suprana Show di TPI. Pendiri Museum Rekor MURI dan pencetus
kelirumologi ini mempunyai beragam predikat – mulai dari pengusaha,
pembicara, presenter, penulis, kartunis, pemain piano hingga pencipta
lagu – yang diakui oleh lembaga tingkat dunia seperti Die Welt, Los
Angeles Times, The Guardian, Wall Street Journal, dan Straits Time.
Semasa muda, Jaya pernah menjadi pedagang buku bekas di Semarang pada
tahun 65-an. Bahkan ketika sekolah di Jerman ia tak sungkan menjadi
tukang bubut, tukang pasang ubin, atau menjadi pegawai kafetaria
mahasiswa. Sepulang belajar di Jerman ia sempat menjadi Manajer
Pemasaran Jamu Jago, sebelum naik jabatan sebagai presiden direktur.
Setelah sekitar delapan tahun menjadi direktur di perusahaan jamu
yang diwarisinya dari keluarga - yang berdiri sejak tahun 1918 - Jaya
beralih ke posisi presiden komisaris. Kini, tugasnya hanya
mengarahkan GBHP (Garis Besar Haluan Perusahaan) dan mengawasi
kinerja perusahaannya.
Dalam berbagai kesempatan, Jaya selalu muncul bersama tokoh-tokoh
politik kelas wahid di negeri ini. Meskipun begitu, Jaya tidak
tertarik pada urusan politik. Di samping itu, ayahnya juga pernah
berpesan agar Jaya tidak terjun ke dunia politik karena politik pada
prakteknya justru sering menjadi berhala dan menguasai makhluk
tertinggi ciptaan Tuhan itu.
Pada 27 Januari 1990, ia mendirikan Museum Rekor Indonesia (MURI)
sebagai bagian dari visi ke depannya untuk menghimpun semua prestasi,
perilaku, dan kegiatan yang unik, langka, dan kreatif. Museum yang
selokasi dengan Museum Jamu Jago ini sudah menjadi objek wisata resmi
Kota Semarang, Jawa Tengah.
Sebagai seorang pemikir dan penulis, Jaya mengobok-obok berbagai
literatur dan media untuk mempelajari kekeliruan dan kesalahkaprahan
yang telah dilakukan orang dalam kehidupan sehari-hari. Hingga
akhirnya, ia memelopori istilah kelirumologi dan melahirkan buku
berjudul Kaleidoskopi Kelirumologi, yang mengajak pembaca untuk lebih
peka terhadap hal-hal yang dianggap benar padahal salah di tengah-
tengah masyarakat. Misalkan saja, semboyan yang dipercaya masyarakat -
mens sana in corpore sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa
yang sehat). Jaya mengatakan bahwa di dalam tubuh yang sehat, belum
tentu hadir jiwa yang sehat. Jaya memberi contoh Mike Tyson atau
penghuni Rumah Sakit Jiwa, bertubuh sehat tapi jiwanya sakit.
Berkat kerja keras dan ketekunannya, ia memperoleh puluhan
penghargaan nasional maupun internasional dalam bidang seni musik
(dari Freundeskreis des Konservatoriums Muenster, Jerman, dan dari
Pangeran Bernhard, Belanda), kebudayaan (Budaya Bhakti Upapradana),
komputer (Best in Personal Computing Award 1995 dari Apple Macintosh
Inc.), industri-bisnis (The Best Executive Award 1998), prestasi
perusahaan (Trade Leader's Club, Madrid, dan Institut pour Selection
de la Qualite, Belgia), lingkungan hidup (Sahwali Award 1997),
kemanusiaan (Duta Kemanusiaan 1991 - 1992 Palang Merah Indonesia),
dan lain-lain.
Sebagai kartunis, lulusan Musikhochschule Muenster dan
Folkwanghochschule Essen, Jerman ini telah menggelarkan karyanya di
Jerman, Norwegia, dan Indonesia sendiri. Sedangkan untuk urusan
musik, selama ini Jaya dikenal sebagai komponis dan pianis andal yang
sudah tampil di berbagai negara di Eropa, Amerika, Aljazair, Selandia
Baru, dan lain-lain.
Pendidikan musik yang ditekuninya selama lima tahun membuat Jaya
mampu melahirkan karya-karyanya sendiri. Ia tampil pertama kali dalam
resital piano tunggal tahun 1981 di Taman Ismail Marzuki. Penampilan
keduanya digelar di Erasmus Huis untuk merayakan 50 tahun usia
Yayasan Pendidikan Musik (YPM). Di bidang kemanusiaan, ia ikut
memelopori program donor ginjal jenazah di Indonesia.
Pada pertengahan 2003 lalu, Jaya memelopori iklan layanan
masyarakat `Indonesia Pusaka' dan membuat program berdurasi 60
menit `Di Balik Adegan Indonesia Pusaka' yang ditayangkan di TPI di
rumah produksi Jatayu Cakrawala Film.
Iklan layanan masyarakat `Indonesia Pusaka' yang dibuat dalam rangka
menyambut Satu Abad Bung Hatta ini merekam lebih dari 20 figur,
sebagian tokoh ternama, menyanyikan lagu kesayangan Bung Hatta, yakni
Indonesia Pusaka ciptaan Ismail Marzuki. Tokoh-tokoh ternama yang
berhasil `dikumpulkan' oleh Jaya antara lain Presiden Megawati
Soekarnoputri, mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Ketua MPR Amien
Rais, dan sejumlah menteri dan mantan menteri.
Sementara dari nonpejabat ada artis Nurul Arifin, Marisa Haque,
peharpa Maya Hasan, violis Idris Sardi, Ketua Persatuan Tukang Becak
Jakarta, dan seorang wanita pemulung. Termasuk juga putri Bung Hatta,
yakni Halida dan Gemala. Waktu itu, pada setiap sesi rekaman masing-
masing tokoh, Jaya sibuk pula berfungsi sebagai pelatih menyanyi
kilat, konduktor, penata musik, sekaligus editor.
Kini, di usianya yang semakin senja, tanpa seorang anak, Jaya tetap
berkarya, berbuat kebaikan dan suka memberi. Ia mengangkat anak asuh
dan mendirikan Panti Asuhan Rotary-Suprana. Di atas tanah warisan
almarhumah ibunya, Lily Suprana, seluas 900 m2 di kawasan Candi Baru,
Semarang, kini tinggal sekitar 10 orang anak. Semuanya lelaki.
Perkembangan panti yang biaya operasionalnya didukung bersama dengan
Yayasan Rotary ini memang bagus karena kebanyakan anak asuhnya
memperoleh ranking di kelasnya masing-masing. Bahkan bagi anak yang
mendapat rangking 1 diberikan hadiah atas prestasinya itu.
Sifat suka memberi tidak lepas dari didikan keras sang ayah, Lambang
Suprana, yang mengajarnya untuk tidak memberhalakan kekayaan dan
sadar bahwa harkat dan martabat manusia bukan diukur dari kekayaan
harta bendanya, namun dari kekayaan akhlak dan imannya. Itulah
mengapa, Jaya tidak ambil pusing tentang masa tuanya, karena ia
tinggal `menunggu mati' saja dan siap pergi ke surga.
Mengenai kesuksesan yang diperolehnya, Jaya mempunyai pandangan
sendiri. Menurutnya, kesuksesan baginya belum tentu kesuksesan bagi
orang lain. Ia menganalogikannya dengan olahraga lari. Baginya, ia
sudah termasuk sukses mampu berlari 100m dalam waktu 10 menit, namun
bagi Carl Lewis itu merupakan prestasi memalukan. Oleh karena itu,
Jaya mengatakan bahwa yang penting bukan merasa sukses, melainkan
mensyukuri hasil karya yang telah ia perjuangkan.
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/j/jaya-suprana/index.shtml
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Read more...